Januar
Bicara bulan Januari, sepertinya
lebih enak untuk memulainya dari tahun Januari 2015 dulu deh hhee.
Januari 2015, aku masih berkutat dengan crude oil.
Iya, tahun tersebut aku masih bekerja di sebuah BUMN yg berfokus pada
pengeksplorasian sumber daya mineral. Bahkan jas lab seharga 11 juta (biaya
masuk SMAKBO) pun aku ikhlaskan bercorakan crude yang waktu itu harganya
menembus $140/barrel. Bicara profesionalisme juga aku dapatkan dari perusahaan
ini. Sekalipun banyak orang berkata : waah kerja disana enak ya gajinya gede,
berarti kalian belum benar-benar membedah dalamnya. Dari sanalah aku mendapat
kata-kata sakti yang membuatku sampai seperti sekarang ini, “Kalau kamu lanjut
kuliah, kaka saranin jangan ambil kimia lagi. Kaka lihat kamu kurang cocok di
lab”.
Januari 2016 adalah bulan terakhir aku bekerja di
sebuah perusahaan farmasi dekat rumahku. Karena memang kontrak kerjaku berakhir
pada bulan tersebut dan dirikupun ingin berusaha untuk tembus PTN akhirnya aku
putuskan untuk tidak memperpanjangnya. Padahal dari sisi penghasilan dan
pengalaman, disana adalah tempat yg aku rasa tepat. Namun yang namanya mimpi
harus diwujudkan. Alhamdulillah Januari 2017 aku sedang duduk manis membuat
tulisan ini di Bandung, iya mimpi untuk kuliah di PTN pun tercapai.
Februari
Februari 2015 adalah bulan-bulannya aku mulai
melengkapi laporan akhirku untuk lulus dari SMA KBO alias SMAKBO. Bulan ini
juga banyak pelajaran yg bisa kudapat terutama soal profesionalisme kerja dan
administrasi pekerjaan.
“Kenapa kamu baru mengisi daftar kehadiran
sekarang?” pertanyaan dari pembimbing institusi ku pun terlontar sesaat setelah
aku meminta tanda tangan beliau untuk melengkapi laporanku.
“Begini bu, biar lebih efektif kerja
bu, kan jadi tidak keluar masuk lab untuk keruang ibu” Jawabku sekenanya. Iya
bodohnya diriku adalah aku malas sekali ke ruang Ibu (karena beda gedung) untuk
sekedar say hello di pagi hari ataupun meminta tanda tangan untuk laporan hasil
lab. Aku lebih sering menitipkannya ke analis bawahan beliau di lab (yang
kurang dekat juga denganku karena berbagai sebab, padahal orangnya baik banget).
“Saya tidak mau tanda tangan” Dunia
rasanya pengen kiamat setelah mendengar kalimat tersebut. “Pertama, yang
namanya kehadiran itu dilaporkan setiap hari walaupun saya tidak
menandatanginya karena kolom yang kamu buat hanya satu dibawah. Kedua, saya kan
tidak tahu kamu hadir setiap hari atau tidak. Saya di office, kamu di lab.
Kalau mau kamu bisa minta tanda tangan ke Kak M, karena dia yang tau kehadiran
kamu setiap hari. Dan minta nilai juga ke dia, karena dia yg mengamati kerja
kamu di lab,bukan saya. Saya tidak mau menandatangani yang tidak saya kerjakan,
karena tanggungjawabnya hingga ke akherat nanti”
“Tapi bu, kan Kak M nya sudah
resign”
“Itu urusan kamu bukan tanggungjawab
saya. Ini sekaligus pelajaran untuk kamu jangan menunda-nunda suatu pekerjaan.
Sekarang hubungi Kak M, temui terus sampaikan dengan baik-baik. Ibu yakin dia
pasti mau karena dia orang yang baik”
Dari situ petualangan dimulai dan
berlanjut hingga Maret 2015
Februari 2016 akhirnya aku kembali menganggur. Iya
menganggur, sebuah kata kerja yang pantang sekali dimasukkan dalam KTP. Padahal
menganggur tidak seburuk kedengarannya kok. Menganggur bisa dijadikan jalan
untuk merenungkan nasib “Mengapa saya bisa menganggur? Apakah menganggur ini
bermanfaat untuk diriku?”. Setidaknya dengan menganggur saya bisa lebih fokus
untuk belajar persiapan SBMPTN.
Maret
Maret 2015, Setelah mendengar kalimat-kalimat
“pengguncang batin” tersebut keesokannya (karena hari itu juga sudah mendekati
jam pulang kantor, dan hari terakhir aku kerja juga) aku langsung menghubungi
kakak pembimbing lab ku itu.
“Kakak ga bisa karena harus ikut
training ke <sensor>, jadi mau ke Bandara jam 1”
Hari itu rasanya benar-benar seperti
kiamat.
“Tapi kayanya bisa deh janjian kita
ketemuan saja di Rawamangun. Disana ada toko Rabbani sebelum jam 1 sekalian
kakak mau ke Bandara.”
Namun bedanya aku sekarang seperti
di surga. Lega ...
Semesta masih memberi kesempatan
diriku untuk lulus.
Eh salah, semesta memberi kesempatan
diriku untuk berubah dan tidak lagi menyia-nyiakan waktu.
Aku berangkat 4 jam lebih awal dari
rumah, dengan estimasi 2 jam di jalan dan 2 jam menunggu. Tak apalah walau aku
harus beli kartu elektronik dari salah satu bank swasta di Indonesia untuk naik
busway (Busway = Bus Transjakarta, waktu itu adalah masa transisi dari
pembayaran cash ke pembayaran elektronik). Seharga 50.000 (padahal harga tiketnya
hanya 3500). Aku rasa harga segitu adalah harga yang pantas aku bayar atas
kelalaian ku.
Alhamdulillah semua berjalan dengan
lancar, walaupun waktu pertemuan jadi molor 1 jam karena si kakak tidak kunjung
datang. Tapi terima kasih atas pelajaran yang berharga dan tidak terlupakan
sepanjang hayat.
Ki Hajar Dewantara pernah berujar, “Jadikan
setiap orang itu guru, dan semua tempat itu sekolah”. Jadi dimanapun kaka
sekarang, aku berharap yang terbaik untukmu, guru kehidupanku. Allah memberikan
petunjuk bagi umatnya yang berpikir dan dari arah yang tidak disangka-sangka,
termasuk dari orang yang tidak seakidah dengan kita. Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar