Sabtu, 04 Februari 2017

Sebuah Perjalanan Waktu : Apakah 2016 Lebih Baik daripada 2015? (PART 2, Januari - Maret)



Januar
            Bicara bulan Januari, sepertinya lebih enak untuk memulainya dari tahun Januari 2015 dulu deh hhee.

            Januari 2015, aku masih berkutat dengan crude oil. Iya, tahun tersebut aku masih bekerja di sebuah BUMN yg berfokus pada pengeksplorasian sumber daya mineral. Bahkan jas lab seharga 11 juta (biaya masuk SMAKBO) pun aku ikhlaskan bercorakan crude yang waktu itu harganya menembus $140/barrel. Bicara profesionalisme juga aku dapatkan dari perusahaan ini. Sekalipun banyak orang berkata : waah kerja disana enak ya gajinya gede, berarti kalian belum benar-benar membedah dalamnya. Dari sanalah aku mendapat kata-kata sakti yang membuatku sampai seperti sekarang ini, “Kalau kamu lanjut kuliah, kaka saranin jangan ambil kimia lagi. Kaka lihat kamu kurang cocok di lab”.

            Januari 2016 adalah bulan terakhir aku bekerja di sebuah perusahaan farmasi dekat rumahku. Karena memang kontrak kerjaku berakhir pada bulan tersebut dan dirikupun ingin berusaha untuk tembus PTN akhirnya aku putuskan untuk tidak memperpanjangnya. Padahal dari sisi penghasilan dan pengalaman, disana adalah tempat yg aku rasa tepat. Namun yang namanya mimpi harus diwujudkan. Alhamdulillah Januari 2017 aku sedang duduk manis membuat tulisan ini di Bandung, iya mimpi untuk kuliah di PTN pun tercapai.

Februari
            Februari 2015 adalah bulan-bulannya aku mulai melengkapi laporan akhirku untuk lulus dari SMA KBO alias SMAKBO. Bulan ini juga banyak pelajaran yg bisa kudapat terutama soal profesionalisme kerja dan administrasi pekerjaan.

            “Kenapa kamu baru mengisi daftar kehadiran sekarang?” pertanyaan dari pembimbing institusi ku pun terlontar sesaat setelah aku meminta tanda tangan beliau untuk melengkapi laporanku.

            “Begini bu, biar lebih efektif kerja bu, kan jadi tidak keluar masuk lab untuk keruang ibu” Jawabku sekenanya. Iya bodohnya diriku adalah aku malas sekali ke ruang Ibu (karena beda gedung) untuk sekedar say hello di pagi hari ataupun meminta tanda tangan untuk laporan hasil lab. Aku lebih sering menitipkannya ke analis bawahan beliau di lab (yang kurang dekat juga denganku karena berbagai sebab, padahal orangnya baik banget).

            “Saya tidak mau tanda tangan” Dunia rasanya pengen kiamat setelah mendengar kalimat tersebut. “Pertama, yang namanya kehadiran itu dilaporkan setiap hari walaupun saya tidak menandatanginya karena kolom yang kamu buat hanya satu dibawah. Kedua, saya kan tidak tahu kamu hadir setiap hari atau tidak. Saya di office, kamu di lab. Kalau mau kamu bisa minta tanda tangan ke Kak M, karena dia yang tau kehadiran kamu setiap hari. Dan minta nilai juga ke dia, karena dia yg mengamati kerja kamu di lab,bukan saya. Saya tidak mau menandatangani yang tidak saya kerjakan, karena tanggungjawabnya hingga ke akherat nanti”

            “Tapi bu, kan Kak M nya sudah resign”

            “Itu urusan kamu bukan tanggungjawab saya. Ini sekaligus pelajaran untuk kamu jangan menunda-nunda suatu pekerjaan. Sekarang hubungi Kak M, temui terus sampaikan dengan baik-baik. Ibu yakin dia pasti mau karena dia orang yang baik”

            Dari situ petualangan dimulai dan berlanjut hingga Maret 2015

            Februari 2016 akhirnya aku kembali menganggur. Iya menganggur, sebuah kata kerja yang pantang sekali dimasukkan dalam KTP. Padahal menganggur tidak seburuk kedengarannya kok. Menganggur bisa dijadikan jalan untuk merenungkan nasib “Mengapa saya bisa menganggur? Apakah menganggur ini bermanfaat untuk diriku?”. Setidaknya dengan menganggur saya bisa lebih fokus untuk belajar persiapan SBMPTN.

Maret
            Maret 2015, Setelah mendengar kalimat-kalimat “pengguncang batin” tersebut keesokannya (karena hari itu juga sudah mendekati jam pulang kantor, dan hari terakhir aku kerja juga) aku langsung menghubungi kakak pembimbing lab ku itu.

            “Kakak ga bisa karena harus ikut training ke <sensor>, jadi mau ke Bandara jam 1”

            Hari itu rasanya benar-benar seperti kiamat.

            “Tapi kayanya bisa deh janjian kita ketemuan saja di Rawamangun. Disana ada toko Rabbani sebelum jam 1 sekalian kakak mau ke Bandara.”

            Namun bedanya aku sekarang seperti di surga. Lega ...

            Semesta masih memberi kesempatan diriku untuk lulus.

            Eh salah, semesta memberi kesempatan diriku untuk berubah dan tidak lagi menyia-nyiakan waktu.

            Aku berangkat 4 jam lebih awal dari rumah, dengan estimasi 2 jam di jalan dan 2 jam menunggu. Tak apalah walau aku harus beli kartu elektronik dari salah satu bank swasta di Indonesia untuk naik busway (Busway = Bus Transjakarta, waktu itu adalah masa transisi dari pembayaran cash ke pembayaran elektronik). Seharga 50.000 (padahal harga tiketnya hanya 3500). Aku rasa harga segitu adalah harga yang pantas aku bayar atas kelalaian ku.

            Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar, walaupun waktu pertemuan jadi molor 1 jam karena si kakak tidak kunjung datang. Tapi terima kasih atas pelajaran yang berharga dan tidak terlupakan sepanjang hayat.

            Ki Hajar Dewantara pernah berujar, “Jadikan setiap orang itu guru, dan semua tempat itu sekolah”. Jadi dimanapun kaka sekarang, aku berharap yang terbaik untukmu, guru kehidupanku. Allah memberikan petunjuk bagi umatnya yang berpikir dan dari arah yang tidak disangka-sangka, termasuk dari orang yang tidak seakidah dengan kita. Terimakasih.

Sebuah Perjalanan Waktu : Apakah 2016 Lebih Baik daripada 2015? (PART 1)



“Time flies over us, but leaves its shadow behind”
-       Nathaniel Hawthorne   -

**
Kota Bogor dari ketinggian 354 mdpl, at Gunung Kapur Ciampea, Bogor

**


Bismillah

Bicara soal waktu, memang tidak ada yg bisa mengelak bahwa waktu terus berjalan, tidak bisa diberhentikan, ataupun “loncat” ke masa yg akan datang lebih cepat. Bahkan Allah sudah bersumpah dalam FirmanNya yang semua Umat Islam (bahkan pemeluk agama lain pun di Indonesia pasti hafal) hafal QS Al-Asr ayat 1-3.


            Demi masa!” (ayat 1). Atau demi waktu ‘Ashar, waktu petang hari seketika bayang-bayang badan sudah mulai lebih panjang daripada badan kita sendiri, sehingga masuklah waktu sembahyang ‘Ashar. Maka terdapatlah pada ayat yang pendek ini dua macam tafsir.

            Syaikh Muhammad Abduh menerangkan di dalam Tafsir Juzu’ Amma bahwa telah teradat bagi bangsa Arab apabila hari telah sore, mereka duduk bercakap-cakap membicarakan soal-soal kehidupan dan cerita-cerita lain yang berkenaan dengan urusan sehari-hari. Karena banyak percakapan yang melantur, keraplah kejadian pertengkaran, bersakit-sakitan hati sehingga menimbulkan permusuhan. Lalu ada yang mengutuki waktu ‘Ashar (petang hari), mengatakan waktu ‘Ashar waktu yang celaka, atau naas, banyak bahaya terjadi di waktu itu. Maka datanglah ayat ini memberi peringatan “Demi ‘Ashar”, perhatikanlah waktu ‘Ashar. Bukan waktu ‘Ashar yang salah. Yang salah adalah manusia-manusia yang mempergunakan waktu itu dengan salah. Mempergunakannya untuk bercakap-cakap yang tidak tentu ujung pangkal. Misalnya bermegah-megahan harta, memuji diri, menghina merendahkan orang lain. Tentu orang yang dihinakan tiada terima, dan timbullah saling sengketa.

            Lalu kamu salahkan waktu ‘Ashar, padahal kamulah yang salah. Padahal kalau kamu percakapkan apa yang berfaedah, dengan tidak menyinggung perasaan teman dudukmu, tentulah waktu ‘Ashar itu akan membawa manfaat pula bagimu.

            Inilah satu tafsir.
            Tafsir yang lain: “Demi Masa!”
            Diambil Tuhanlah masa menjadi sumpah, atau menjadi sesuatu yang mesti diingat-ingati. Kita hidup di dunia ini adalah melalui masa. Setelah itu kita pun akan pergi. Dan apabila kita telah pergi, artinya mati, habislah masa yang kita pakai dan yang telah lalu tidaklah dapat diulang lagi, dan masa itu akan terus dipakai manusia yang tinggal, silih berganti, ada yang datang dan ada yang pergi.

            Diperingatkanlah masa itu kepada kita dengan sumpah, agar dia jangan disia-siakan, jangan diabaikan. Sejarah kemanusiaan ditentukan oleh edaran masa.

            Berbicara waktu, maka ada ikatannya dengan umur, ada kaitannya juga dengan beragam cerita. Perpindahan tahun 2015 ke 2016 menimbulkan sebuah pertanyaan sederhana namun krusial, “Apakah tahun 2016 lebih baik dibandingkan 2015?”

            “Sesungguhnya manusia itu adalah di dalam kerugian.” (ayat 2). Di dalam masa yang dilalui itu nyatalah bahwa manusia hanya rugi selalu. Dalam hidup melalui masa itu tidak ada keuntungan sama-sekali. Hanya rugi jua yang didapati: Sehari mulai lahir ke dunia, di hari dan sehari itu usia sudah kurang satu hari. Setiap hari dilalui, sampai hitungan bulan dan tahun, dari muda ke tua, hanya kerugian jua yang dihadapi.

            “Kecuali orang yang beriman.” (pangkal ayat 3). Yang tidak akan merasakan kerugian dalam masa hanyalah orang-orang yang beriman. Orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa hidupnya ini adalah atas kehendak Yang Maha Kuasa. Manusia datang ke dunia ini sementara waktu; namun masa yang sementara itu dapat diisi dengan baik karena ada kepercayaan; ada tempat berlindung.

            “Dan beramal shalih,” bekerja yang baik dan berfaedah. Sebab hidup itu adalah suatu kenyataan dan mati pun kenyataan pula, dan manusia yang di keliling kita pun suatu kenyataan pula. Yang baik terpuji di sini, yang buruk adalah merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain. Sinar Iman yang telah tumbuh dalamjiwa itu dan telah menjadi keyakinan, dengan sendinya menimbulkan perbuatan baik. Dalam kandungan perut ibu tubuh kita bergerak. Untuk lahir ke dunia kita pun bergerak. Maka hidup itu sendiri pun adalah gerak. Gerak itu adalah gerak maju! Berhenti sama dengan mati. Mengapa kita akan berdiam diri? Mengapa kita akan menganggur? Tabiat tubuh kita sendiri pun adalah bergerak dan bekerja. Kerja hanyalah satu dari dua, kerja baik atau kerja jahat. Setelah kita meninggalkan dunia ini kita menghadapi dua kenyataan. Kenyataan pertama adalah sepeninggal kita, yaitu kenang-kenangan orang yang tinggal. Dan kenyataan kedua ialah bahwa kita kembali ke hadhirat Tuhan.

            Kalau kita beramal shalih di masa hidup, namun setelah kita mati kenangan kita akan tetap hidup berlama masa. Kadang-kadang kenangan itu hidup lebih lama daripada masa hidup jasmani kita sendiri. Dan sebagai Mu’min kita percaya bahwa di sisi Allah amalan yang kita tinggalkan itulah kekayaan yang akan kita hadapkan ke hadapan Hadhirat Ilahi. Sebab itu tidaklah akan rugi masa hidup kita.

            “Dan berpesan-pesanan dengan Kebenaran.” Karena nyatalah sudah bahwa hidup yang bahagia itu adalah hidup bermasyarakat. Hidup nafsi-nafsi adalah hidup yang sangat rugi. Maka hubungkanlah tali kasih-sayang dengan sesama manusia, beri-memberi ingat apa yang benar. Supaya yang benar itu dapat dijunjung tinggi bersama. Ingat-memperingatkan pula mana yang salah, supaya yang salah itu sama-sama dijauhi.

            Dengan demikian beruntunglah masa hidup. Tidak akan pernah merasa rugi. Karena setiap pribadi merasakan bahwa dirinya tidaklah terlepas dari ikatan bersama. Bertemulah pepatah yang terkenal: “Duduk seorang bersempit-sempit, duduk ramai berlapang-lapang.” Dan rugilah orang yang menyendiri, yang menganggap kebenaran hanya untuk dirinya seorang.

            “Dan berpesan-pesanan dengan Kesabaran.” (ujung ayat 3). Tidaklah cukup kalau hanya pesan-memesan tentang nilai-nilai Kebenaran. Sebab hidup di dunia itu bukanlah jalan datar saja. Kerapkali kaki ini terantuk duri, teracung kikil. Percobaan terlalu banyak. Kesusahan kadang-kadang sama banyaknya dengan kemudahan. Banyaklah orang yang rugi karena dia tidak tahan menempuh kesukaran dan halangan hidup. Dia rugi sebab dia mundur, atau dia rugi sebab dia tidak berani maju. Dia berhenti di tengah perjalanan. Padahal berhenti artinya pun mundur. Sedang umur berkurang juga.
“Meskipun Surat ini pendek sekali namun isinya mengumpulkan kebajikan dengan segala cabang rantingnya. Segala pujilah bagi Allah yang telah menjadikan kitabnya mencukupi dari segala macam kitab, pengobat dari segala macam penyakit dan penunjuk bagi segala jalan kebenaran.” Sekian kita salin dari Ibnul Qayyim.

            Imam Asy-Syafi’i berkata: “Kalau manusia seanteronya sudi merenungkan Surat ini, sudah cukuplah itu baginya.”

            Jadi, izinkan saya untuk merenungkan tahun 2016 ini pada postingan selanjutnya

Sumber : http://tafsir.cahcepu.com/alashr/al-ashr-1-3/